Jumat, 09 Oktober 2009

Pengaruh MAZHAB HUKUM ALAM dalam Perkembangan Hukum
oleh : Yovita Arie Mangesti, SH.,MH

Pendahuluan
Sejarah Hukum alam adalah kisah kegagalan manusia dalam mencari keadilan absolut. Seiring dengan bergulirnya waktu, masyarakat membutuhkan hukum yang mengatur berbagai corak perilaku manusia.
Kebutuhan akan adanya hukum yang universal dengan komposisi nilai-nilai ideal tertinggi menjadikan Hukum alam sebagai titik tolak pemikiran dalam menentukan berbagai aturan yang ada di masyarakat.
Konsepsi hukum alam sebagai suatu perintah yang sangat dihormati hanya mungkin apabila manusia menyadari posisinya di alam semesta ini. Generasi yang skeptis dan mulai muak dengan kesewenang-wenangan pemerintah manusia, akan sadar akan pemerasan dan ketidakadilan, alam dihadapkan dengan kezaliman manusia.
Berangkat dari pernyataan ini, manusia membutuhkan nilai keadilan, kesederajatan dalam kesatuan hidup yang tak lain adalah masyarakat.
Keadilan didapat melalui penalaran yang logic dalam menganalisa suatu masalah dalam hidup manusia. Dalam ”logika”, Aristoteles memandang bahwa dunia sebagai totalitas yang meliputi seluruh alam.
Dalam teori-teori tradisional, lembaga-lembaga yang penting dalam masyarakat adalah hasil rangsangan jahat manusia. Peradaban baru Eropa yang dimulai sekitar abad kesembilan dibangun atas dasar dua landasan: feodalisme dan Hukum Gereja Katolik. Suatu lembaga masyarakat, dibangun atas pola hirarkhis yang ketat, termasuk perundang-undangan. Misalnya : Ius naturale – untuk semua makhluk, Ius gentium – untuk seluruh umat manusia, Ius civile – hukum khusus untuk suatu persemakmuran
Hukum bertujuan untuk memelihara stabilitas sosial. Karenanya seluruh pemikiran tentang hukum harus berusaha menertibkan hal-hal yang kiranya dapat mengganggu stabilitas, meski dilain sisi, kebutuhan akan perubahan berlangsung dinamis dalam kehidupan manusia. Berubahnya keadaan masyarakat dalam hubungannya dengan faktor non - hukum misalnya politik, ekonomi dan sosial memang mengubah pandangan tentang hukum alam / hukum kodrat yang universal. Tetapi ada hal yang tidak berubah, yakni : ”the appeal to something higher than positive law”

A. Beberapa pandangan tentang Hukum Alam
Hukum alam , atau dalam banyak literatur dibahas dalam berbagai kajian juga dari berbagai sudut pandang , dikenal sebagai ”Hukum Kodrat” atau ada juga yang menyebut dengan ”Hukum Illahi”, ”Hukum Moral” dan sebagainya, sesungguhnya merupakan produk sejarah manusia dalam upayanya menemukan ”keadilan yang mutlak” (absolutejustice).Keadilan yang mulak ini dipadang sebagai nilai ideal yang harus dicapai dalam kehidupan manusia.Sampai sekarang, mazhab Hukum Alam ini masih aktual sebagai bahan kajian , karena substansi hukum alam itu mengandung nilai-nilai yang menjunjung tinggi hakikat manusia dari bagaimana manusia ada dengan seluruh proses hidup yang dijalaninya yang tidak terlepas dari alam.
Produk hukum baru, dalam batasan bentuk, ruang dan waktu, berlakunya, tentunya memerlukan acuan nilai.
1. Hukum kodrat Yunani
Peradaban Yunani adalah peradaban tertua yang mengenal konsep hukum KeTuhanan yang berada diatas lembaga-lembaga manusia. Akal manusia memungkinkan untuk menelaah fenomena ini.
a. Heraclitus dari Ephese mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia ada dibawah satu undang-undang KeTuhanan.
b. Archytos dari Tarente , perbedaan antara Undang-undang KeTuhanan dan Undang-undang manusia adalah bahwa Undang-undang KeTuhanan tidak tertulis,sedangkan Undang-undang manusia adalah tertulis.
2. Socrates
Dalam hukum, terdapat masalah etis - masalah kesusilaan. Melaksanakan tindakan yang berlawanan dengan hukum selalu merupakan tindakan kejahatan. Letaknya hukuman dalam pelanggaran undang-undang yang tertulis ada pada pelanggaran itu sendiri. Dalam jiwa orang yang melanggar undang-undang keTuhanan timbul perasaan tidak enak oleh karena ia memutuskan keseimbangan (harmonie) antara dunia dan dia sendiri. Satu-satunya Undang-undang abadi akan mengikat semua bangsa untuk segala zaman ; satu Tuhan bersama akan bertindak sebagai penguasa dan pemerintah di atas segala bangsa
3. Aristoteles
Hukum kodrat adalah lebih tinggi dari hukum positif. Ada perbedaan antara yang ”adil” menurut undang-undang dan ”adil” menurut alam. Hukum positif hanya memberikan peraturan-peraturan yang berlaku secara umum, ketentuan hukum positif tidak dapat memperhitungkan semua perkecualian yang dapat terjadi dalam tiap keadaan.
Hal ini menyebabkan suatu ketidak adilan yang tidak dikehendaki.
4. Cicero
Cicero mengatakan : ”ada hukum yang sempurna, terdiri dari akal murni yang sesuai dengan alam ” Selanjutnya ; Hukum ini ada dimana-mana, tetap dan abdi, memerintahkan orang menaati kewajiban. Hukum ini dikenal dengan kesusilaan. Hukum positif harus mengambil pedoman ketentuan hukum kodrat.
5. Ambrosius
Undang-undang alam adalah tidak terulis, tidak dikenal dengan salah satu cara tertentu, tetapi adalah pembawaan yang dengan sendirinya mengalir pada tiap orang.
6. Augustinus
Augustinus mengetengahkan pengertian baru yaitu tentang Hukum Abadi (lex aeterna) , bahwa hukum abadi terdiri atas dua hal, hukum kodrat yang didasarkan atas rasio manusia dan hukum keTuhanan (lex divina), yang didasarkan atas wahyu.
Ajaran hukum kodrat berkembang dari hukum menurut naluri alam (instinctif naturrlijk) kedalam hukum berdasarkan norma-norma rasionil (redelijk normatieve)
7. Thomas Van Aquino
Memberikan pengertian yang tajam antara hukum abadi (lex aeterna), hukum KeTuhanan (lex divina), hukum kodrat (lex naturalis) dan hukum positif.
- Hukum abadi (lex aeterna) adalah hukum keseluruhan yang berakar pada jiwa Tuhan. Sebagian kecil dari hukum itu dikenalkan kepada manusia melalui wahyu.
- Hukum KeTuhanan (lex divina), misalnya undang-undang nabi Musa
- Hukum Kodrat (lex naturalis) adalah bagian dari hukum yang ditemukan oleh manusia dengan perantaraan akalnya.
Lex naturalis adalah bayangan dari hukum abadi dalam akal manusia. Sebagai manusia yang berakal maka bertindak sesuai dengan hukum kodrat. Asas-asas pokok adalah sama untuk semua orang , tak dapat berubah-ubah.
- Hukum positif adalah pelaksanaan dari hukum kodrat oleh manusia barhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum positif ini dinamakan undang-undang. Hukum positif perlu untuk hidup manusia, baik dengan sukarela ataupun dengan paksaan-paksaan.
Permulaan dari segala hukum asalnya adalah alam, Hukum dalam arti yang sebenarnya dibuat atas dasar otoritas .
Validitas hukum dan ketaatan legal secara inheren bersifat normatif. Semua norma selalu mengarah pada finalitas atau tujuan tertentu, dan hukum merupakan putusan yang bersifat direktif atau mengarahkan.
Semua hukum dipromulgasikan melalui akal budi, sebab hanya dengan akalbudi manusia memahami hukum. Undang-undang manusia tidak memiliki kebenaran tanpa berpangkal tolak dari proses hidup alamiah manusia itu sendiri. Yang ada adalah kesimpulan-kesimpulan ilmiah.
8. Grotius.
Grotius (Hugo de Groot) memandang akal sebagai sesuatu yang berdiri sendiri yang menjadi dasar baru untuk penyelidikan tentang negara hukum.Dalam suatu sistem hukum, yang masih dipertahankan adalah hubungan antara hukum kodrat dengan hukum positif dan hubungan antara kodrat dan akal.
Grotius beranggapan hukum kodrat dapat menemukan kebenaran ilmiah atas fakta sejarah bahwa terjadinya negara berdasarkan perjanjian kemasyarakatan. Perjanjian kemasyarakatan ini terjadi karena secara alamiah manusia selalu diganggu oleh kebebasan yang terbatas dari orang lain.
Dengan perjanjian itu, hak-hak manusia dapat terjamin. Hal ini berhubungan dengan konstruksi hukum.
Menurut Grotius , sikap etis dari hukum harus ditonjolkan, disamping sikap ”social” manusia, yang menghantar manusia pada keinginan hidup bersama dengan orang lain dalam suatu persekutuan. Menghormati hak milik menjadi syarat utama dalam hal ini ada keharusan untuk menaati perjanjian. Jika perjanjiandalam suatu persekutuan merupakan perwujudan kepentingan ”yang berkuasa” maka perjanjian dianggap bertentangan dengan hukum kodrat. Hak untuk mempertahankan hidup, menjadi alasan utama untuk mengadakan perjanjian.
9. Spinoza dan John Locke.
Spinoza : keadaan alamiah ditinjau secara rasional tak memuaskan dan baru dengan adanya negara keadaan berubah menjadi baik. Sedangkan menurut John Locke keadaan alamiah adalah keadaan damai yang sempurna. Tugas negara adalah melindungi hak milik . Manusia menurut Locke adalah subyek hukum kodrat, sebab hukum ini mengajarkan bahwa semua manusia memiliki kesamaan martabat dan kebebasan.


10. Christian Thomasius
Dalam karyanya pada permulaan abad 18, ”Fundamenta”, hukum hanya menghendaki dari manusia satu perbuatan luar atau satu sikap tak melakukan perbuatan moral, sebaiknya menghendaki sesuatu yang datangnya dari dalam. Negara ditinjau dari ajaran hukum alam memiliki konstitusi yaitu undang-undang yang dipastikan mengandung nilai-nilai universal hak-hak manusia. Paham ini menumbuhkan ajaran tentang ”hak-hak Asasi Manusia”.
B. Relevansi Hukum Alam dengan Hukum Positif
Dalam perkembangan peradaban manusia, masalah moral mempengaruhi pemikiran manusia tentang hukum aktual yang berlaku dalam masyarakat. Asumsi mengenai hukum aktual ini memunculkan pendapat bahwa tiada kaidah hukum yang lebih tinggi dibandingkan hukum alam. Atau dengan kata lain, sebagaimana dikemukakan Sumaryono : bahwa di balik sistem hukum yang diberlakukan pada jenis masyarakat yang berbeda – beda, ada suatu hukum yang memiliki kedudukan lebih tinggi yang dipergunakan untuk menilai dan mengukur validitas hukum buatan manusia.
Asumsi ini mempertegas kedudukan hukum kodrat sebagai hukum yang lebih tinggi.
Berkaitan dengan hukum positif dalam suatu negara, John Locke menjelaskan bahwa : kontrak sosial adalah dasar semua pemerintahan sipil. Ini terjadi sesuai dengan status kodrati manusia sebagai makhluk sosial yang cinta damai.
- kontrak sosial bermaksud mempromosikan kesejahteraan masing-masing individu.
Maka model pemerintahan ideal adalah demokratis, sebab setiap individu memiliki hak dan kedudukan yang sama.
-memisahkan kekuasaan negara menjadi legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan aplikasi sistem check and balance digunakan untuk menjamin terselenggaranya keadilan bagi semua orang.
Dalam hal ini hukum kodrat adalah standar regulatif hukum positif. Hukum positif harus mampu merinci konsep tentang hak yang terkandung dalam setiap pernyataan hukum itu sendiri. Hukum tidak dapat dipisahkan dari cita rasa keadilan. Kajian sejarah membuktikan bahwa hukum alam dapat dipergunakan dalam berbagai keperluan penemuan hukum. Hal ini dapat diamati dari :
1.Fungsi hukum kodrat sebagai aspek pengubah hukum Romawi, menjadi suatu sistem hukum yang universal.
2. Hukum kodrat sebagai dasar pemisahan kekuasaan gereja dan kaisar
3. Hukum kodrat merupakan awal dibuatnya hukum internasional dengan pengakuan terhadap hak dasar seseorang (cikal bakal pemikiran hak asasi manusia).
4. Hukum kodrat menjadi awal terbentuknya satu ketertiban umum yang menguasai umat manusia (a universal order governing all men) dan pengakuan bahwa hak asasi tidak dapat dipisahkan dari orang perorang (the inalienable right of individual).
Sebagaimana ditekankan oleh Thomas Van Aquino, bahwa Hukum alam bersifat universal, abadi, tidak berubah dalam ruang dan waktu, sedangkan ius hukum positif dipandang sebagai penerapan hukum alam di dunia ini. Kaum humanis pada abad pertengahan beranggapan bahwa kebenaran-kebenaran besar kehidupan adalah kebenaran yang berkaitan dengan cara hidup yang benar. Sedangkan kaum skolastik menekankan bahwa pencapaian kebenaran merupakan tujuan utama penggalian intelektual manusia.
C. Peran Mazhab Hukum Alam bagi perkembangan ilmu hukum
Pendapat tentang adanya Hukum Alam telah dikenal sejak zaman dahulu. Pengaruhnya tampak jelas pada sistem Hukum Romawi yang terbagi atas ius civile dan ius gentium.
Di dalam abad XVI, dibawah pengaruh Reformasi dan rasionalisme muncul pendapat tentang Hukum Alam modern yang bertumpu pada akal manusia.
Hukum Alam kaum awam adalah sebuah hukum rasional , yang mengendalikan semua hubungan antar manusia – manusia, apapun ras ataupun status sosial mereka.Bahkan raja-raja pun harus tunduk pada undang-undang atau hukum alam yang fundamental,universal,langgeng,lestari tidak berubah-ubah yang mengalir dari sifat kodrat alam manusia itu sendiri. Ajaran Hukum Alam sangat diterima pada negara dengan sistem kerajaan, dimana raja dianggap mendapat rahmat Allah. (Inggris, Swiss, Jerman, Belanda). Karya Hugo De Groot ”De Jure belliac pacis” (Hukum tentang Perang dan Damai) yang sarat dengan asas hukum alam membimbing negara –negara pada perkembangan hukum positif antar bangsa yang berlandaskan asas pacta sunt servanda merupakan fundamental norm dalam hukum internasional.
Karya Hugo De Groot yang juga penting antara lain : ”Mare Liberium”, sebagai perwujudan hukum alam yang membertahankan kebebasan kelautan. Dalam hal ini, Raja terikat pada hukum alam melalui hati nuraninya.
Mazhab Hukum Alam selanjutnya berkembang di Inggris oleh Thomas Hobbes, dengan ajarannya bahwa : Status kodrat alam segala sesuatu adalah ”bellum omnium contra omnes” (perang antar semua lawan semua).Untuk mencegah hal tersebut, maka manusia-manusia harus berdaya upaya mencapai perdamaian , bahkan harus menerima dan mengakui dibatasinya kebebasan antara satu terhadap yang lain dan komitmen untuk menjunjung tinggi persetujuan-persetujuan yang diadakan.Harus dibuat kontrak sosial, yang didalamnya manusia menyerahkan hak- haknya kepada seorang penguasa (Raja, Parlemen) untuk memerintah. Pihak kontrak sosial bertanggungjawab kepada Tuhan. Penguasa bertindak sesuai Hukum Alam. Kewajiban warga negara untuk tunduk hanya ada selama penguasa berwenang untuik menggunakan kekuasaannya itu. Rasionalisme yang tersirat dalam hukum alam memberi warna pada ajaran Descrates dan tulisan-tulisan abad pencerahan.
Jen Domat dari Perancis menerapkan hukum alam pada hukum perdata dengan maksud menjembatani dan mempersatukan hukum Romawi , hukum kanonik, hukum kebiasaan dan hukum alam. Namun hukum alam diterima hanya sebagai ”Ratio Scripta” (rasio yang tertulis) sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Kristen.
Pandangan pada abad pencerahan (Aufklarung) menolak postulat bahwa kedaulatan diberikan Tuhan kepada raja.
Hal ini tidak rasional dan bertentangan dengan kesetaraan manusia ,yang termasuk tertib kodrat segala sesuatu.
Dibawah pengaruh kontrak sosial – JJ Rousseau pasca revolusi Amerika dan Peransic, pada setiap tatanan hukum setiap orang menyerahkan sebagian dari kebebasannya , namun sekecil mungkin , kepada raja sebagai ganti menjaga dan mempertahankan ketertiban.Raja atau penguasa tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya. Peristiwa-peristiwa hanya dapat dihukum apabila dinyatakan demikian oleh undang-undang (Nullum Crimen, Nulla Poena Sine Lege)
Hal ini, berdampak pada munculnya Positivisme hukum.
Satjipto Raharjo, membagi hukum alam dalam 2 kategori : Hukum Alam sebagai metode dan Hukum Alam sebagai substansi. Hukum alam sebagai metode adalah yang tertua dapat dikenali , dikenali sejak zaman Yunani hingga abad pertengahan.
Memfokuskan diri pada usaha menemukan metode yang bisa diciptakan untuk untuk mampu menghadapi keadaan yang berlainan, menjadi pedoman untuk tahu bagaimana membuat suatu aturan yang baik.
Hukum alam sebagai substansi mengandung norma-norma. Dalam hal ini manusia dapat menciptakan sejumalah besar peraturan yang dikenal sebagai hak asasi manusia.
Kebangkitan kembali hukum alam atas positivisme hukum didorong oleh keinginan untuk menyatakan suatu idealisme moral.
Ciri hukum yaitu menentukan tuntutan ke arah keadilan yang ideal. Peraturan hukum perlu tunduk pada internal morality. Aspek hukum alam tampak jelas suatu perjuangan manusia untuk mencapai tujuan tersebut.

Kesimpulan
Peradaban manusia yang berkembang dari waktu kewaktu tidak bias terpisahkan begitu saja dari hal-hal alamiah. Hal ini jelas terpetakan dalam pola hubungan manusia dengan Tuhan sebagai sebab dari segala sebab utama.
Di sisi kehidupan yang lain manusia tidak lepas dari alam , yang terus berevolusi baik dalam pengertian biologis maupun sosial.
Ketika fenomena alam bersentuhan dengan tuntutan sosial untuk survive dalam seluruh bidang kehidupan, perlu ada suatu tatanan hukum ,yang didalamnya sarat dengan kaidah-kaidah moral yang universal.
Berawal dari kesadaran manusia akan keberdaannnya di dunia, disusunlah tata nilai yang disebut hukum, baik dalam pengertian metode maupun substansi.
Peran mazhab hukum alam bagi perkembangan ilmu hukum sejalan dengan perkembangan peradaban manusia antara lain :
1. Sebagai instrumen utama bagi pertumbuhan hukum. Hal ini tampak pada terbentukanya hukum Romawi khususnya dalan lapangan hukum perdata, yang pada perkembangannya ditransformasikan dalam hukum internasional yang lebih luas.
2. Sebagai jembatan antara hukum gereja dan kerajaan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Hukum mengatur hak dan kewajiban, baik kewajiban manusia terhadap Tuhan sebagai sebab dari sebab yang utama serta kewajiban terhadap negara.
3. Sebagai dasar pertimbangan keabsahan kekuasaan absolut. Memang hukum alam seolah berbicara tentang karakter ”primus interpares” sebagai penguasa.
Tetapi perlu dipertajam bahwa kekuasaan bukan untuk melegitimasi usaha pencapaian kepentingan pribadi seluas-luasnya, tetapi justru memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
4. Sebagai tolak ukur preseden oleh para yuris. Dalam pengertian ini, keadilan memang didapatkan dari hukum positif, tetapi hukum positif tanpa jaminan pengakuan hak-hak kodrati tidak akan adil.
Cita-cita hukum, yakni keadilan dalam pandangan Hukum Alam diperjuangkan dengan memberikan jaminan perlindungan bagi hak-hak kodrati manusia. Hukum positif tanpa didasari mazhab hukum alam belum menjadi hukum yang benar-benar adil.
Setiap orang karena kodrat rasionalnya dapat berpartisipasi dalam kebijakan pembentukan hukum. Maka sejalan dengan perkembangan hukum, mazhab Hukum Alam berperan sebagai standar regulatif Hukum positif. Hakekat hukum positif yang terbatas pada ruang dan waktu, tidak dapat meninggalkan substansi hukum alam yang normatif dari segi etik dan moral.
Dalam tatanan kenegaraan, demokrasi dipandang sebagai bentuk yang ideal, dimana kekuasaan berasal dari dan untuk rakyat. Tetapi situasi yang demikianpun sewaktu-waktu akan mengarah pada keadaan dimana manusia semakin bebas menyuarakan kehendak, yang berujung pada konflik kepentingan. Situasi ini berjalan sebagai siklus kehidupan. Hukum rasional manusialah yang mengatur agar siklus ini tidak mengarah pada demoralisasi dan krisis sosial yang berkepanjangan.Upaya pemenuhan kebutuhan menyangkut hak-hak kodrati tetap berada dibawah kontrol nilai-nilai ideal.
Mazhab Hukum Alam hendaknya menjadi pertimbangan ketika suatu bangsa dihadapkan pada banyak aspek pengubah hukum . Penemuan hukum baru (hukum positif) dimaksudkan untuk menjaring kejahatan inkonvensional. Hendaknya , substansi hukum yang abadi dan universal atas dasar internal morality dapat dijadikan pegangan untuk mencapai nilai keadilan yang dicita-citakan.


Referensi
Friedmann, (1996) Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Pustaka
Hegel, Pustaka Pelajar. Filsafat Sejarah
Hidya, T.T. (2004) Humanisme dan Skolatitisme.Yogyakarta : Kanisius
Jan, Gijssel (2000) Apakah Teori Hukum Itu. Bandung : Laboratorium Hukum Unpar
John Gilissen, E ( 2005), Sejarah Hukum Suatu Pengantar. Bandung : Refika Aditama
Kattsoff,L. (1992) Pengantar Filsafat.Yogyakarta : Tiara Wacana
Leahy, L. (1991) Esai Filsafat Untuk Masa Kini. Jakarta : Grafiti
Liang, Gie, T (2000) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty
Peter dan Siswosoebroto, K. (1988) Hukum dan Perkembangan Sosial I,II,III, BukuTeks Sosiologi Hukum. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Poedjawijatna. (1986) Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta : Bina Aksara
Rahardjo, Satjipto ( 2000) Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti
Sudiarja, et al (2006) Karya Lengkap Dryarkara Esai – Esai Filsafat Pemikir yang terlibat Penuh dalam Sejarah Perjuangan Bangsanya. Yogyakarta : Kanisius
Sumaryono , Etika dan Hukum, Yogyakarta : Kanisius
Sutrisno, M. (2001) Humanisme, Krisis, Humanisasi. Jakarta : Obor
Suseno, Franz.M. (1999) Etika Dasar Masalah - masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta : Kanisius
Tafsir, Ahmad (1990) Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra , Bandung : RosdaKarya
Verhaak, Haryono, I (1989) Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Gramedia