Jumat, 09 Oktober 2009

LAW ENFORCEMENT (Penegakan Hukum) di Indonesia
Oleh : Yovita A. Mangesti

Jika orang memandang sejarah panjang dan kelam dari manusia, orang akan menemukan bahwa lebih banyak kejahatan yang menjijikkan dilakukan atas nama kepatuhan daripada atas nama pemberontakan. Sikap memuja otoritas dan kepatuhan padanya berkorelasi secara ganjil dengan kebebasan atas kecemasannya sendiri , dengan kecenderungan untuk melarikan diri dari kebebasan dan tanggungjawabnya dengan berlindung dibawah perintah otoritas ataupun pendapat umum (CP.Snow)


Hukum adalah produk manusia, manusia adalah bagian dari hukum itu sendiri. Hukum yang merupakan seperangkat aturan yang katanya digali dari nilai-nilai yang hidup dimasyarakat – dan nilai-nilai itu disepakati sebagai bentuk ketaatan bersama – tidak lepas dari berbagai aspek kehidupan manusia. Berbicara tentang hukum berarti pula berbicara dalam konteks ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya. Penegakan hukum (law enforcement) merupakan pengemas keseluruhannya sehingga kepentingan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dapat berjalan selaras dengan kemajuan manusia (masyarakat).
Menghindari konflik sosial – mungkin ini ungkapan yang paling sederhana dari tujuan dibuatnya aturan dalam masyarakat. Budiman Hardiman dalam ”Memahami Negativitas”,2005 : Dinamika kehidupan bersama menorehkan catatan sejarah bahwa gejala patologi sosial telah begitu parah, ditandai dengan kesenjangan sosial, diskriminasi dalam hukum, kekerasan, korupsi hingga terorisme.
Masyarakat meneriakkan protes sosial dengan berbagai cara. Ada yang turun ke jalan dan ber-orasi-ria, ada yang adu argumen di media masa dan dunia maya, bahkan bermain dengan bom dan aksi terorisme. Masyarakat Indonesia mengklaim dirinya sebagai masyarakat modern. Segala sesuatu didasarkan pada hukum positif, pada aturan materil dan formil. Ketika sebuah produk hukum tidak mampu memperjuangkan kebenaran materil seperti yang dikehendaki, maka yang terjadi adalah degradasi keseluruhan aspek kehidupan. Bahkan anak-anak kecil pun sering menyebutkan ”krisis ekonomi”,”krisis moral” ”krisis identitas”, ”krisis moral” dan serentetan krisis-krisis lainnya. Orang tua dan kalangan akademisi berbicara tentang komisi-komisi, unit kerja, kebijakan pemerintah yang tak proporsional, dan ujung-ujungnya: hukum lagi , hukum lagi, yang dianggap tak punya kepastian.
Lalu apa yang salah? Ini menjadi permenungan bersama. Hukum, secara materil, telah menghimpun nilai-nilai sebagaimana masyarakat menghendaki. Secara formil pun telah diatur sedemikian rupa. Lembaga hukum lengkap dengan instrumen penegak hukum dengan batas kewenangan yang jelas. Tetapi teriakan memohon keadilan dalam bentuk agresivitas massa, seakan tak juga padam.
Kalau boleh penulis katakan, hukum yang konon kabarnya adalah alat social control dan social engineering sudah kehilangan fungsinya. Hukum seakan tak mampu memperjuangkan kebenaran materil. Hukum berpihak pada penguasa. Diawal tulisan ini, analisa berawal dari dan di masyarakat yang cenderung patuh pada otoritas kekuasaan, bahkan kebebasannya sendiri (yang tak lain adalah nurani) sudah tak melindungi diri. Orang cenderung bersembunyi di balik otoritas kekuasaan. Defakto, ini terjadi dalam Penegakan hukum di Indonesia.
Ketika setiap pagi manusia bangun dan yang didengar adalah lontaran keluh kesah menghadapi tuntutan kebutuhan ekonomi yang tak tercukupi atau keluhan korupsi dimana-mana, ketakutan akan adanya tindak kriminal, kritik-kritik pedas terhadap kebobrokan hukum, konflik sosial dalam berbagai bentuk, maka budaya yang tumbuh adalah budaya takut pada kehidupan sendiri.Padahal seharusnya pagi hari ketika manusia itu bangun , ia sudah harus mengisi nurani dengan niat baik, optimisme-sehingga mentalitas bangsa dapat dibangun dengan begitu idealnya sebagai insan beragama, berbudaya.
Ketaatan terhadap nlai-nilai hidup yang diwariskan oleh nenek moyang kita, ketaatan sebagai makhluk religius , hendaknya dijelmakan dalam perilaku sehari-hari. Namun sayang, filosofi ini seakan –akan telah ditinggalkan.
Ada semacam ketidaksambungan antara aspirasi masyarakat dengan penegak hukum. Seolah hukum hanya didasarkan pada logika komunitasnya saja. Mengapa demikian? Tentu ada faktor-faktor yang berperan dibalik mekanisme penegakan hukum (law enforcement) tersebut.
Berbicara tentang hukum, tentu mencakup berbagai bidang kehidupan yang luas. Untuk menjawab pokok permasalahan tentang faktor positif dan negatif Law enforcement di Indonesia , penulis tidak membahas butir-butir hukum positif yang ada secara rinci dan lembaga-lembaga formil yang ada, tetapi fokus kajian pada aspek Sistem, Moralitas dan Cara pandang terhadap hukum, karena ketiganya merupakan akar permasalahan law enforcement tersebut.

Sistem
Indonesia adalah Negara hukum. Aturan hukum itu digali dari nilai-nilai yang hidup sejak bangsa Indonesia ada. Sangat kental mewarnai adalah Hukum Barat (sebagai warisan kolonialisme), Hukum Adat (sebagai warisan kebudayaan dan merupakan corak kehidupan khas Indonesia), Hukum Islam. Ketiganya saling mengisi , sehingga secara umum sebetulnya kita tak perlu ragu lagi, bahwa setiap butir kata dalam perundang-undangan tentunya sudah merupakan hasil pemikiran matang para pembuat undang-undang yang bertujuan untuk mengatur berbagai kepentingan.
Sistem penegakan hukum telah diatur dalam bentuk hukum formil berikut kewenangannya. Produk undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif pun sudah sedemikian banyaknya. Bahkan dibawah payung otonomi daerah, penentu kebijakan di daerah diharapkan lebih mengenal kebutuhan masyarakat dan dapat memberikan jaminan kepastian hukum.
Sistem, tentu tidak terlepas dari budaya yang ada dalam perjalanan sebuah rezim pemerintahan negara. Sejarah mencatat perjalanan bangsa dari zaman kerajaan , kolonial, pascakononial, terbentuknya Indonesia yang bergulir dari zaman orde lama,orde baru,masa reformasi hingga sekarang ini, sangat mempengaruhi perilaku penegakan hukum.
Tergambar jelas bagi kita beberapa faktor positif, bahwa zaman kerajaan, mengenalkan kita pada budaya ketaatan terhadap aturan raja / penguasa. Bahkan kelas rakyat jelata / kelas bawah rela memberikan apapun yang dimiliki demi kepentingan kerajaan. Jiwa persatuan dan menjunjung tinggi adat di daerah menjadi pengikat ketaatan terhadap aturan yang berlaku pada masa ini. Kolonialisme, menawarkan ”model lain” sebagai bagian untuk menemukan identitas suatu bangsa. Dan ini berpengaruh pada mekanisme penegakan hukum dimana tatanan hukum Indonesia akhirnya adalah hasil kodifikasi masa kolonial. Pascakolonial (anggaplah dimulai sejak kemerdekaan), sebagai negara baru Indonesia banyak mereduksi paham-paham kenegaraan dan pada akhirnya terjadi pemusatan ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara. Trilogi Pembangunan pada rezim Suharto yang bertumpu pada pembangunan ekonomi di satu sisi membawa dampak positif bahwa kesejahteraan rakyat yang dikejar melalui pembangunan ekonomi tidak menimbulkan konflik sosial yang bergejolak. Hukum relatif stabil.
Pada masa reformasi hingga saat ini, dengan ditopang prinsip demokrasi, hukum tumbuh dengan suburnya bagai cendawan di musim hujan, karena produktivitas hukum diukur dari banyaknya produk undang-undang baru yang diberlakukan.
Ketaatan pada sistem, ini sebetulnya kata kunci yang dilain sisi juga merupakan faktor negatif penegakan hukum di Indonesia. Prakolonial, meski relatif stabil, tetapi masyarakat tunduk pada simbol kekuasaan raja (penguasa). Pada masa kolonial, meski banyak belajar dari sistem negara penguasa belum menemukan model hukum yang menjamin kepentingan bersama. Bahkan Indonesia terpecah dalam berbagai kelompok sistem hukum ( golongan eropa, Timur Asing , Pribumi) yang dalam perkembangannya menjadi akar diskriminasi hukum. Pascakolonial, menghadirkan perubahan pola pikir kearah identitas kenegaraan yang lebih nyata. Ini tandai dengan tidak diterimanya paham diluar Pancasila. Rezim Suharto yang sarat dengan budaya Jawa, mengangkat ketaatan terhadap hirarkhi stara sosial secara tidak langsung menciptakan kelas-kelas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan golongan.
Momentum ini dipertajam dengan determinasi ekonomi diatas politik dan hukum. Hukum ditujukan bagi rakyat dan melindungi kepentingan penguasa. Budaya ini mewarnai sistem.Yang namanya budaya, akan sulit diubah. Butuh waktu yang relatif lama mengubahnya.
’Ewuh pakewuh ’(Jawa), mengutamakan kerabat dan golongan, adalah bagian dari tata nilai yang mewarnai sistem. Bahkan ketika reformasi diteriakkan dimana-mana, masih dipadati dengan kepentingan kerabat dan golongan tertentu saja. Sementara seharusnya demokrasi memberi porsi paling banyak untuk kedaulatan rakyat, sebagai anti tesis rezim sebelumnya.

Moralitas
Indonesia adalah negara hukum. Hukum didasarkan pada The rule of law, terikat pada konstitusi, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, dasar bagi cara dan tindakan pemerintah serta segala instansi untuk mencampuri hak dan kebebasan warga negara. Hal ini sangat positif, karena mengarah pada moralitas yang tumbuh berkembang dan bertahan dalam kerangka hukum yang secara normatif ideal. Sisi positif ini menjadi juga negatif, saat dengan jujur mengakui, bahwa dewasa ini pidato moral, slogan, seruan-seruan yang meminta pengorbanan rakyat terhadap proyek-proyek untuk kepentingan umum serasa usang. Mengapa? Karena beban pajak yang dipikul oleh pemilik / penanam modal di negeri ini, merupakan tanahyang gembur bagi penguasa karena kolusi dan korupsi.
Kewenangan negara menguasai cabang produksi yang penting, bumi, air dan kekayaan di dalamnya dimanipulasi demi kepentingan kelompok dan golongan. Terjadilah diskriminasi.
Sejarah evolusi manusia berpijak pada fenomena ”Struggle of the fittes”, bahwa yang terus hidup adalah yang lolos seleksi alam. Positif, jika masyarakat berupaya mengembangkan diri dibidangnya masing-masing. Tetapi situasi ini berubah dengan memanipulasi naluri pokok untuk ”Struggle for life”. Ketika moralitas dipertanyakan, yang dipersalahkan adalah hilangnya religiositas bangsa yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Negatif bagi aparat penegak hukum, karena degradasi moral akan mewarnai setiap keputusan hukum.

Cara Pandang terhadap Hukum
Hukum muncul ketika negara sebagai kendaraan politik berupaya mengatur, mengakomodasikan , merangkum otoritas dalam lembaga-lembaga yang ada, baik pranata resmi maupun pranata sosial yang tumbuh di masyarakat informal. Berdasarkan fakta historis, negara hukum muncul karena pengalaman pahit perjuangan antar kelas, kemelaratan akibat negara-negara monarkhi, trauma terhadap kekuasaan absolut. Maka hukum dalam suatu negara merupakan sintesis politik dan kepatuhan terhadap nilai-nilai yang hidup di masyakat.
Positif, karena fakta ini mendorong adanya distribusi kekuasaan (lihat bahwa Indoneisa menganut Pembagian kekuasaan – trias politika).Ada kesepakatan dalam hal kontrol sosial/pengawasan. Cara pandang terhadap hukum yang demikian bertumpu pada tujuan utama yakni ”tegaknya hukum”, bahwa satu-satunya yang ’legal’ adalah tindakan berdasarkan hukum. Akan menjadi sesuatu yang negatif, bahwa mekanisme kontrol terhadap hukum itu ’dicampuri’ penguasa, karena negara sebagai kendaraan politik dikemudikan oleh pemenang di dunia politik. Bukankah politik adalah cara memperoleh ’kekuasaan’?
Dibeberapa negara misalnya Argentina, Cilli, El Savador, Afrika Selatan dan Guatemala , memiliki alternatif bagi penegakan hukum, yaitu dengan dibentuknya Komisi Kebenaran. Komisi kebenaran biasanya digunakan bila sistem pengadilan lemah atau nyaris tidak bekerja, ataukorup dan berbias politik , dan memeiliki prospek yang lemah untuk penuntutan yang serius. Komisi initidak hanya memantau proses yudisial tetapi juga terhadap korban dari proses tersebut.
Meminjam istilah Satjipto Rahardjo, hukum bisa menjadi mesin. Dalam Menurutnya, Dalam suasana liberal mesin itu distel untuk menghadapi individu yang merdeka, yang tidak boleh diganggu sama sekali dan kemerdekaan menjadi ikon yang dijunjung tinggi. Hakim, Jaksa, dan lain-lain adalah skrup mesin itu. Hakim adalah mulut undang-undang, bukan keadilan.
Hakim dan jaksa dapat menampilkan independen secara total , berdiri diatas semua pihak tanpa disuap.Sekali tombol dipencet berputar tanpa melihat siapa yang dihadapi.Asas persamaan di hadapan hukum akan bekerja dengan baik,jika bisa ditransformasikan. Hukum memang rumit, ditarik ke mesin maka derajat manusia penuh akan dikorbankan , ditarik ke manusia , korup dan mafia pengadilan akan merajalela.

KESIMPULAN DAN SARAN
Pada kenyataannya Law Enforcement bergulir dengan sangat fluktuatif, sarat dengan faktor positif dan negatif perkembangan hukum, yang tak lepas dari masyarakat itu sendiri. Manusia sebagai unsur masyarakat sebagian besar dikuasai oleh naluri- naluri yang tidak punya tujuan lain daripada mencari kepuasan. Sifat mencari kepuasan ini cenderung anti sosial. Maka yang timbul adalah krisis sistemik, termasuk dalam upaya penegakan hukum. Krisis ini disebabkan karena warna yang terus berubah dalam rezim di suatu negara. Pendekatan moralistik, slogan-slogan, bahkan pendekatan religi menjadi kabur karena setiap rezim yang berganti punya corak pengaturan negara yang berbada satu dengan lainnya. Periode kepemimpinan cenderung ’merubah’ strategi sasaran pembangunan sebelumnya, bukan melanjutkan. Produk undang-undang yang diberlakukan cenderung ’merubah’ yang lama, dan tak bisa dihindari perubahan itu melindungi kepentingan pembuat undang-undang yang baru. Sistem akan terhenti atau melenceng karena tak mampu menjawab perkembangan naluri tujuan masyarakat. Maka pedoman penegakan hukum menjadi kabur.
Idealnya, sistem penegakan hukum dilegitimasi dengan keteladanan pelaku-pelaku dalam mengupayakan kebenaran. Bila orang yang berwenang memanipulasi sistem dengan posisi dan kekuasaannya maka indikasi rusaknya sistem layaknya virus yang berkembang biak.
Terhadap moralitas dan cara pandang terhadap hukum, negara harus melakukan rekonsiliasi. Lihat kembali bahwa negara hukum berlandaskan nilai-nilai yang hidup (living law), kembali pada komitmen awal pendirian negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Eksistensi sustu negara hukum bukan dilihat dari banyaknya produk perundang-undangan, bukan dari banyaknya lembaga-lembaga hukum atau banyaknya komisi-komisi, LSM, dan sebagainya.
Legalitas dalam hukum positif bukanlah legalitas sempit, sehingga hakim sebagai pemutus perkara bebas melakukan penafsiran hukum atas dasar hukum yang hidup tanpa meninggalkan nilai-nilai religi sebagai dasar pertimbangan nurani.
Dalam rangka penegakan hukum dapat pula dilakukan dengan menghidupkan dan melestarikan nilai-nilai living law di suatu daerah, tanpa mengaburkan hukum positif yang berlaku. Bukan untuk membingungkan masyarakat, tetapi sejalan dengan kehendak dan konsesus masyarakat, living law menjadi sarana sosialisasi hukum nasional karena bersumber dari masyarakat itu sendiri.
Model Komisi Kebenaran sebagaimana dibentuk di negara-negara maju bukan sesuatu pilihan yang mutlak, karena kebenaran yang hakiki ditemukan ketika manusia sadar akan hakekat penciptaan dan keberadaan manusia itu sendiri.
Hal demikian hanya dapat dipahami jika manusia – apapun status sosialnya - memahami keseimbangan dimensi fisik dan spiritual.
Maka pertanyaannya adalah bagaimana sesungguhnya moralitas bangsa dewasa ini.
Mengulang kembali slogan diawal tulisan ini : Jika orang memandang sejarah panjang dan kelam dari manusia, orang akan menemukan bahwa lebih banyak kejahatan yang menjijikkan dilakukan atas nama kepatuhan daripada atas nama pemberontakan. Sikap memuja otoritas dan kepatuhan padanya berkorelasi secara ganjil dengan kebebasan atas kecemasannya sendiri , dengan kecenderungan untuk melarikan diri dari kebebasan dan tanggungjawabnya dengan berlindung dibawah perintah otoritas ataupun pendapat umum.
Ini tergantung sejauhmana batin kita kuat untuk mengambil sikap, untuk tidak tunduk pada permainan yang tidak jujur, untuk tidak bersedia ”dibeli” oleh mayoritas , tidak menjunjung ”kebersamaan” yang melanggar prinsip keadilan tetapi menggantinya dengan membahasakan kebenaran yang tak terbahasakan.
Kultur harus bisa memaksa manusia untuk merepresi berbagai kepentingan pribadinya. Maka pembuat aturan dalam masyarakat harus dapat menciptakan hukumyang merepresi kecenderungan naluri , agar orientasi hidup bukan semata untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kesejahteraan bersama. Meski merepresi keinginan, hukum yang baik tidak hanya diterima sebagai paksaan (coersion) tetapi cermin kerelaan dan kesediaan untuk mentaatinya.
Pemahaman ini tidak terhenti pada aparat hukum saja, tetapi berlaku bagi seluruh individu yang hidup, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Azhary, M.T. (2002).Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam , Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini.Jakarta : Prenada Media
Bertens, K. (1990) Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Jakarta : Gramedia
Budi, F.H. (2005) Memahami Negativitas. .Jakarta : Kompas
Garudanusantara, A.H. (2006) Konflik dan Hukum. Solusi hukum.com
Hayner, P.B. (2005) Kebenaran Tak Terbahasakan. Jakarta : Elsam
Hidya, T.T. (2004) Humanisme dan Skolatitisme.Yogyakarta : Kanisius
Ihromi, T.O. (1994) Pokok-pokok Antropologi Budaya.Jakarta : Obor
Kusuma, H.H. (1995) Antropologi Hukum .Bandar Lampung : Citra Aditya Bakti
Peter dan Siswosoebroto, K. (1988) Hukum dan Perkembangan Sosial I,II,III, BukuTeks Sosiologi Hukum. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Rahardjo, S. (2006) tulisan lepas@ solusi hukum.com
Sardi, M. Hak Asasi Manusia Sebagai Tantangan Hidup Religius. Yogyakarta : Bonaventura
Suriasumantri, J.S. (2005) Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Sutrisno, M. (2001) Humanisme, Krisis, Humanisasi. Jakarta : Obor
Suseno, F.M. (1999) Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta : Kanisius
Sutrisno, M. dan Putranto, H. (2004) Hermeneutika Pasca Kolonial. Yogyakarta : Kanisius